14 Mei 2009

PASAR TRADISIONAL VS PASAR MODERN [Antara Tuntutan Global dan sebuah Kekhasan]

Pasar menurut Ensiklopedia Indonesia didefinisikan sebagai organisasi tempat penjual dan pembeli bertemu dan saling melakukan kegiatan ekonomi dengan mudah. Pada mulanya pasar – pasar hadir pada lalu lintas dan lingkungan – lingkungan yang strategis seperti pelabuhan, kerajaan. Dalam sejarah Indonesia, kerajaan – kerajaan yang maju biasanya terletak di daerah dekat dengan laut seperti Sriwijaya. Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim yang sangat maju dalam penyebaran agama dan perdagangan dari luar Nusantara.

Setelah habis kejayaan masa feodal di Indonesia, dan muncul pengaruh demokrasi, pasar – pasar tradisional tidak begitu saja hilang eksistensinya dari kehidupan masyarakat. Pasar – pasar tradisional tetap berkembang seiring zaman. Ragamnya pun bermacam – macam dari pasar yang hanya menjual satu jenis barang seperti pasar burung, pasar sapi, pasar buah, sampai pasar yang hanya ada pada hari – hari tertentu saja, seperti pasar Legi, Pasar Kliwon.

Pasar tradisional sangat berbeda dengan pasar – pasar modern (baca: supermarket, mal, dsb). Dari segi harga misalnya, di pasar tradisional, kita bisa saling berdebat dan mengajukan tawaran untuk mencapai harga yang disepakati. Ada keaktifan dari konsumen dan produsen. Dari harga yang tinggi dapat “dinyang” menjadi separuh harga atau malah sangat murah. Tetapi kalau pasar modern, untuk mencapai kesepakatan harga antar pembeli sebagai konsumen dan pedagang sebagai produsen atau distributor hanya didasari pada keaktifan penjual. Dalam artian penjual sudah menetapkan harga, dan pembeli tidak bisa menawar. Prinsip yang sering dipakai adalah kalau tidak mau silakan cari yang lain. Seperti lirik lagu yang dibawakan PSP ketika menyindir sebuah mall. PSP mengatakan bahwa untuk kalangan menengah ke bawah, harga barang di sebuah mall sangat membebani. “Pengin baju hanya sanggup beli kancingnya” kata mereka dengan irama kroncong dandutnya.

Perbedaan lainnya adalah strategi pemasaran. Di setiap bidang ekonomi pasti akan berkaitan dengan teknik pemasaran. Semua pasar pun menggunakan strategi pemasaran. Bahkan pasar untuk kegiatan prostitusi di Yogya yang sering disebut Pasar Kembang itu pun menggunakan strategi pemasaran untuk menarik membernya salah satunya dengan cara menggunakan suatu parikan. Contohnya:

“Tanjung Perak kapale kobong

mangga pinarak kamare kosong”

Seperti yang di sebutkan dalam buku “Pelacur di Yogyakarta” yang merupakan catatan etnografis Wahyudin, antropolog dari UGM. Teknik dan strategi pemasaran untuk pasar modern pasti akan lebih mewah, lebih berkualitas. Misalnya dengan menyebar flyer dan brosur – brosur produk pasar tersebut. Atau dengan memberikan kupon belanja dan voucer. Tetapi untuk pasar tradisional, teknik dan strategi pemasarannya cenderung untuk mendekati masyarakat, misalnya ketika ada hiburan di suatu tempat pasti, di situ akan banyak sekali pedangang – pedagang. Tetapi juga kadangkala terikat dengan hari – hari pasaran Jawa, seperti ketika hari pasaran Pon, maka pedagang – pedagang akan menggelar pasarnya di tempat A, ketika hari pasaran Wage, maka pedagang akan pindah di tempat lain begitu seterusnya.

Memang pasar tradisional sangat kalah fasilitasnya dibandingkan dengan pasar modern, tetapi yang paling menarik dari pasar tradisional adalah komunikasi antarpersonal dalam pasar tersebut. Gosip – gosip, rasan – rasan, dari mulai tetangga sebelah sampai artis ibukota semua dibahas. Masalah pertunjukan wayang sampai masalah perekonomian Indonesia yang sangat dipengaruhi kondusifitas politik, juga tidak jarang ditemui dalam urun rembug antar pedagang dan pembeli.

Di Yogya, ruang publik yang bernama pasar tradisional sangat banyak ditemui. Di setiap kecamatan yang ada di kota Yogya paling tidak ada satu pasar. Memang keberadaan banyak pasar di kota Yogya ini menyebabkan adanya stigmatisasi mengenai Yogya yang masih tradisional, Yogya yang masih kampung, terbelakang, tertinggal dengan kota – kota besar lainnya. Tetapi ketradisionalan, kekampungan, keterbelakangan dan ketertinggalan ini (dalam hal pasar tadi) malah menjadi ciri khas, “suatu gaya hidup sendiri” dan menjadi menarik karena di satu sisi Yogya harus mengikuti perkembangan zaman, tetapi di sisi yang lain Yogya punya gaya hidup sendiri dan harus pula mempertahankan kekhasannya itu kata budayawan Romo Sindhunata dalam pengantarnya di Pameran Foto FKY XVI.

Aspek yang pertama adalah Yogya harus mengikuti perkembangan zaman. Pada saat – saat ini, di Yogya mulai muncul bangunan – bangunan besar nan megah yang dinamakan Mall. Beberapa hotel lalu berkompetisi untuk mendirikan sebuah bangunan mall bahkan ada yang mengorbankan suatu sekolah untuk dijadikan pondasi mal. Selain itu ada pula yang merenovasi bangunan – bangunan untuk dijadikan mall. Tetapi yang sangat disayangkan adalah bangunan tersebut ada juga yang merupakan bangunan bersejarah. Sangat ironis ketika suatu tempat bersejarah yang di dalamnya terdapat banyak kenangan dan untuk merebut membutuhkan perjuangan dan pengorbanan tetapi setelah itu, sekarang malah dijadikan ajang transaksi, bisnis antar elite ekonomi.

Memang suatu kemajuan pembangunan suatu daerah dapat dilihat secara nyata lewat pembangunan fisiknya. Jakarta misalnya, ada jalan tol, bangunan – bangunan sampai puluhan tingkat, fasilitas umum, dan orang – orang lalu mencap bahwa Jakarta berhasil membangun. Tetapi apakah pernah orang meninjau ulang pikirannya itu? Apakah benar Jakarta sudah maju? Sebenarnya tidak bisa kalau kemajuan suatu daerah hanya ditinjau dari pembangunan fisik saja tetapi juga dari pembangunan mental masyarakatnya. Kesejahteraan masyarakat, prinsip keadilan masyarakat yang sudah terrealisasikan, dan pelaksanaan HAM yang dijamin oleh UU merupakan syarat – syarat lain terciptanya keberhasilan pembangunan di suatu daerah.

Aspek berikutnya adalah Yogya yang harus mempertahankan kekhasannya dan gaya hidupnya. Sebagai kota pariwisata kedua setelah Bali, Yogya sangat diminati turis – turis terlebih turis manca. Ketradisionalan, kekampungan sebuah kota inilah yang menyebabkan para turis berduyun – duyun mengunjungi kota ini. Sebuah hal yang sangat sederhana, sangat tradisional, ternyata juga memberikan daya tarik. Lihatlah juga pasar – pasar tradisionalnya, seperti Ngasem dan Beringharjo. Tidak jarang dijumpai turis – turis asing masuk pasar. Suatu pemandangan yang sangat asing bagi mereka ketika masuk pasar, dan melihat penjual dan pembeli baju saling melakukan tawar menawar. Atau ketika melihat pembeli ikan di Ngasem sedang mengajukan tawaran harga. Ketika mereka dapat melihat transaksi ekonomi secara langsung. Hal yang baru karena di negaranya mungkin tidak ada lagi pasar yang bermodelkan seperti pasar tradisional di Yogya.

“Yogya adalah kampung sekaligus kota besar, sehingga untuk eksis dalam dunia global, tidak boleh lepas dari kekhasannya,” ungkap Romo Sindhunata. Memang kekhasan Yogya tidak ada yang menyamai di Indonesia, sebuah kesederhanaan dan ketradisionalan yang memang hanya dimiliki oleh Yogya. Sehingga Yogya pun memunculkan banyak ikon – ikon kebudayaan yang dilakukan untuk menjual tradisinya di zaman modern.

Pasar tradisional sebagai salah satu ikon pun tidak lepas dari peranan pemerintah yang pada mulanya memang bertujuan bagus yaitu untuk menata dan mengatur pasar itu sehingga tidak merugikan banyak pihak seperti pemakai jalan yang menjadi kewalahan karena jalanan menjadi macet akibat keramaian pasar. Selain menata dan mengatur, untuk memberikan fasilitas kemudahan kepada konsumen dan produsen seperti dengan adanya pengaturan lahan pemasaran (ditempatkan di suatu tempat).

Tetapi yang perlu diperhatikan di sini adalah proses pemerintah membangun pasar tersebut. Kemungkinan ada tendensi dari pemerintah untuk menghilangkan pasar tradisional karena dianggap sebagai sumber masalah. Sehingga pemerintah pun mengizinkan untuk perombakan pasar, pembangunan bermacam – macam pasar modern.

Ketika ada pembangunan pasti ada pula dampak dari pembangunan. Suatu pertanyaan yang patut direfleksikan untuk kita bagaimana nasib masyarakat yang sangat berhubungan dengan pasar tradisional? Bagaimanakah nasib para pedagang kecil yang harus datang saat subuh untuk mulai menggelar dagangannya? Nasib buruh gendong yang hanya bisa menghidupi dirinya sehari – hari melalui gendongannya.

Sehingga kalau dipertarungkan antara pasar modern dan pasar tradisional, kemungkinannya akan sangat besar untuk kemenangan pasar modern. Mengapa? Karena dalam pasar modern terjadi banyak sekali penumpukan modal (kapitalisme) yang sangat berpengaruh di segala bidang di Indonesia ini. Di Indonesia saat ini masih ada tindakan ketika uang sudah berbicara semua aspek kehidupan terkalahkan. Maka dari itu pantaskah salah satu kekhasan kota Yogya ini tergusur dari Yogya karena kalah persaingan dengan pasar modern yang hanya mengagung – agungkan keuntungan daripada sebuah interaksi sosial antarpersonal?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar