05 Desember 2020

Mikir Mengaku Dosa

Dalam tradisi iman katolik, ada sakramen tobat yg hanya dapat diterimakan melalui fase pengakuan dosa. Aku jadi ingat saat membaca kisah Injil saat Yesus dicobai dengan pertanyaan: "Guru, perempuan ini berbuat zinah, dan menurut hukum Taurat kita harus merajam sampai mati". Yesus tidak langsung berreaksi tp malah menulis di tanah dengan tangannya. Dan dalam hening semua orang menunggu jawabanNya..sampai akhirnya terucap "Barangsiapa tidak mempunyai dosa bolehlah dia melemparkan batu ke perempuan ini". dan akhirnya tidak ada satupun orang yang melempari batu itu. Dalam injil ini ada 3 pihak yang terlibat. Pertama orang-orang yang melabel perempuan berdosa. Kedua, perempuan yg dilabel berdosa dan ketiga, Tuhan sendiri. dalam hidup kita sering berperan menjadi 2 pihak. Pihak melabel dan dilabel. pertanyaannya saat kita melabel orang lain dosa adalah apakah kita sendiri tidak berdosa? apakah dosa kita lebih sedikit dari dosa orang lain? apakah pernah menimbang dosa kok bisa bilang lebih sedikit? apakah tau latar belakang atau motif yang mendasari berbuat dosa? bisa jadi dosa buat satu orang adalah berkah buat orang lain karena kita terkoneksi satu sama lain. Pada saat dilabel dosa.. pertanyaannya adalah apakah sungguh aku melakukan dosa? jangan-jangan label itu benar tapi tidak disadari? jangan-jangan aku di label seperti itu karena hubunganku dengan sesama dan Tuhan sendiri tidak baik? Maka dari itu perlu ada peran pihak 3. Pihak Tuhan yg berharap kita bertobat supaya hubungan ku dengan Nya dan hubungan ku dengan sesama menjadi baik kembali. sik tak mikir mau ngaku apa ndak hari ini heheeeee

03 Desember 2020

Difabel bukan disabel

Hari ini tgl 3 Dec, katanya diperingati sebagai hari disabilitas seluruh dunia. hati kecil dan memoriku tiba2 menyeruak ke pameran foto di griya KR 10-15 tahun yg lalu. sama-sama membahas dan memamerkan tentang kemampuan yang berbeda, tapi bukan dari sudut pandang dis ability (ketidak mampuan) melainkan dari sudut pandang dif (diferent ability (perbedaan kemampuan) kadang aku berpikir, siapakah aku sehingga mengkotakkan orang lain tidak mampu dengan istilah disability / cacat / tuna? malah mungkin merekalah yang lebih mampu dariku? nyatanya dengan panca indra yang lebih sedikit dari ku mereka lebih kuat? aku yakin mereka tidak disabel tapi memang diferent ability. bukan tidak mampu tp memang berbeda. Bukankah menghargai dan memanusiakan manusia tidak dengan menegasikan kemampuannya? terkadang aku terjerumus dalam hal itu. memakai istiah disabel sangat tidak memanusiakan sama dengan istilah cacat, tuna.. so daripada sok2an memandang orang lain lebih rendah dengan istilah disabel, mending diganti dan dibiasakan memakai istilah DIFABEL. selamat hari Difabel untuk semua orang yang merayakan. Tuhan beserta kalian.

Iseng2 Nulis di Lomba PPM

Jadi, kapan hari itu PPM salah satu konsultan training manajemen mengadakan lomba menulis artikel. Pak Sumar, guru sosiologi dan penulis di SMA ku waktu itu pernah berkata, membaca itu gampang, tp menulis itu perlu latihan. banyak lah menulis supaya bisa latihan. Terinspirasi itu, dan setelah ingat kalo ada blog gratisan ini akhirnya aku lanjutkan proses menulisku ini.. berikut artikel yang kusubmit untuk lomba PPM yg temanya banyak banget sampai aku bingung.. intinya peran pemuda gitu jaaaa... MUDA, PROAKTIF-REFLEKTIF Ketika membaca tema yang diangkat dalam kompetisi kontes artikel Sumpah Pemuda dari PPM ini, ingatan saya melayang pada masa saya menempuh SMA De Britto di perbatasan kota Yogya-Sleman, enam belas tahun silam. Ingatan itu menarik saya ke dalam sudut perpustakaan di mana saya tidak sengaja menemukan buku berjudul “Burung Berkicau” karangan seorang Jesuit, yaitu Anthony De Mello. Buku seukuran A5, yang bersampul plastik dan kusam karena dimakan waktu ini ternyata menarik perhatian setelah saya baca lembar demi lembar awalnya. Waktu istirahat yang hanya 15 menit tidak menyurutkan atensi saya yang biasanya saya gunakan untuk “berburu” majalah remaja saat itu. Satu cerita yang berkesan bagi saya adalah “Mengubah Dunia dengan Mengubah Diriku”. Suatu ketika seorang Sufi bercerita tentang dirinya. “Sewaktu aku muda, aku ini selalu berdoa: Tuhan berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia!” Ketika aku sudah mulai dewasa dan sadar bahwa selama hidup aku tidak mengubah satu orang pun, aku mengubah doaku menjadi: “Tuhan berilah aku kekuatan untuk mengubah orang-orang yang berhubungan denganku seperti keluarga dan kawan dekat.” Dan sekarang, ketika aku sudah menjadi tua dan waktu kematianku sudah dekat, aku melihat tidak terjadi apa-apa pula dengan orang-orang dekatku. Aku mengganti doa lagi menjadi: “Tuhan berikanlah aku kekuatan untuk mengubah diriku sendiri”. Seandainya sejak semula aku menyadari hal ini, tentu aku tidak menyia-nyiakan hidupku. Dan cerita tersebut semakin menusuk karena Anthony De Mello menambahkan tulisan “Banyak orang berpikir untuk mengubah manusia, tapi sedikit yang berpikir untuk mengubah dirinya” Dari cerita ini, sedikitnya ada empat poin untuk direnungkan dalam konteks peran orang muda dalam berkarya Tua Muda itu Tentang Jiwa Dalam konteks psikologi perkembangan (Huffman, 2018) tidak menyebutkan ada fase muda dalam rentang kehidupan. Fase-fase itu adalah fase pra-kelahiran, fase anak-anak, fase remaja, dan fase dewasa. Fase dewasa sendiri mempunyai rentang umur yang cukup panjang, yaitu 20-45 (dewasa awal), 45-60 (dewasa madya) dan lebih dari 60 (dewasa akhir). Menariknya apabila mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Muda” mengacu pada kondisi belum matang, belum cukup umur, belum lama. Pertanyaannya adalah di fase mana kondisi-kondisi tersebut ada? Apabila dirunut satu persatu kondisinya, setiap fase pasti ada. Artinya disini kata “Muda” tidak melekat pada rentang umur seseorang. Karena kata “muda” adalah hasil dari perbandingan satu fase dengan yang lainnya, satu umur dengan umur yang lainnya. Seorang bayi baru lahir tentu lebih muda dari bayi tiga bulan. Demikian juga seorang berumur 25 tahun tentu lebih muda daripada 30 tahun. Kondisi “belum matang” dari sudut pandang yang lebih berumur sering diasumsikan dengan kondisi lebih bergelora, menggebu-gebu secara emosional, ingin tahu bahkan sering melakukan perilaku beresiko. Sebagai contoh, apabila melihat anak umur lima tahun yang sering berlari, lompat, jumpalitan kesana kemari ini membuat langsung memberikan cap kelebihan energi. Tetapi mungkin saat kita di umur lima tahun pun melakukan hal yang sama. Artinya di sini, muda adalah tentang jiwa. Karena di setiap rangkaian umur, kita tetap bisa bergelora, ingin tahu menggebu-gebu, atau bermain-main dengan resiko. Bukankah untuk sampai ahli menjadi “goweser” saat ini, dulu kita pernah jatuh berdarah-darah untuk belajar sepeda? Bedanya adalah semakin bertambah umur, pemikiran pun berkembang dengan pengalaman dan pengetahuan sehingga dapat meminimalkan resiko. Dalam peran berorganisasi, semangat jiwa muda ini harus selalu ada supaya organisasi tetap bertumbuh. Bagaimana organisasi yang anggotanya tidak ada yang merasa ingin tahu, bergelora, menggebu? Tentunya akan mengalami masa stagnan. Memilih Proaktif daripada Reaktif Stephen R Covey yang terkenal dengan teori tujuh kebiasaan manusia yang efektif menyatakan dalam kebiasaan pertama untuk menjadi manusia efektif adalah menjadi proaktif. Proaktif adalah suatu kesadaran diri saat kita mempunyai kebebasan memilih tindakan kita serta mempertanggungjawabkan hasil dari pilihan tersebut. Artinya keberhasilan atau kegagalan yang mengikuti adalah hasil dari pilihan kita. Kita sendirilah yang memilih untuk membiarkan diri kita gagal. Bukan orang lain, teman, suami, istri, atasan, perusahaan, ataupun kondisi lingkungan kita. Begitupun sebaliknya ketika berhasil. Prinsipnya adalah bahwa manusia mempunyai kebebasan memilih dalam hidupnya serta bertanggung jawab atas pilihannya. Proaktif berbeda dengan reaktif, yang membedakan adalah kondisi sebelum terjadi respon. Orang-orang yang proaktif berhenti sejenak ketika terjadi stimulus untuk memilih respon. Sementara orang reaktif langsung merespon ketika terjadi stimulus. Aku dalam cerita pengantar adalah orang yang reaktif, karena selama perjalanan hidupnya tidak menyadari konsekuensi yang ditimbulkan. Mengubah dunia, bahkan mengubah orang dekat dan keluarganya adalah pilihan hidup tetapi tidak tahu akibatnya bahwa adalah sia-sia mengubah dunia dan mengubah orang lain tersebut dibandingkan mengubah diri. Dalam peran berorganisasi, semangat jiwa muda ini harus diimbangi dengan sikap proaktif. Walaupun menggebu-gebu, bergelora, mau cepat, tapi tetap harus dibarengi dengan tanggung jawab dan pemikiran mengenai konsekuensi tindakan yang akan didapatkan. Fokus pada Lingkaran Kontrol Mengubah orang lain, mengubah dunia adalah sesuatu hal yang di luar kendali kita. Ketika anak saya yang berumur lima tahun tidur lelap, saya mencoba mengamatinya. Pernah suatu ketika dalam tidur, bola matanya bergerak, tetapi tetap terpejam, bahkan kemudian tangan dan kaki bergerak-gerak juga. Saya menyimpulkan dia sedang bermimpi buruk, tetapi saya tidak bisa mengetahui mimpi apa yang sedang dilaluinya, walaupun saya ayah kandungnya. Apakah dia sedang mimpi bertemu alien karena majalah anak-anak yang saya bacakan tadi membahas tentang itu, saya pun tidak tahu. Hanya dapat menerka saja. Sama hal nya mengubah orang lain, atau mengubah dunia. Kita tidak ada kontrol untuk mengubah supaya sesuai dengan keinginan kita. Sama halnya saat berorganisasi. Kita tidak bisa mengontrol bagaimana respon orang lain terhadap kita. Hal yang dapat dilakukan adalah beradaptasi terhadap respon orang lain tersebut. Dengan kata lain orang proaktif akan fokus pada mengubah diri sendiri, alih-alih meminta orang lain berubah. Orang proaktif akan fokus pada apa yang bisa dikendalikan, atau bisa dikontrol alih-alih fokus pada sesuatu yang berada di luar kontrol. Reflektif Saya teringat suatu quotes yang saya temukan dari internet berbunyi demikian “Learn from the past, look to the future, but live in the present”. Dalam hidup dan peran kita sering kali kita dituntut untuk berambisi, bahkan harus berhasil, tidak boleh gagal. Tuntutan peran inilah yang membuat seringkali menggunakan jalan yang bisa jadi tidak sesuai dengan norma-norma yang dulu dipelajari di pelajaran kewarganegaraan. Dalam paham psikologi behavioristik, John Locke menyatakan manusia diasumsikan seperti kertas kosong, dan proses pembelajaran melalui pengalamanlah yang membentuk kertas kosong tersebut menjadi lukisan yang indah atau coret-coretan tanpa arti. Lalu apakah coretan-coretan itu dapat dihapus? Mungkin saja tidak, tetapi ada cara untuk memodifikasi coretan tersebut untuk membentuk lukisan. Memodifikasi coretan itu dapat dilatih dengan cara berrefleksi, mengambil pelajaran dari pengalaman yang ada. Di zaman yang serba cepat karena teknologi ini bisa jadi proses reflektif dianggap kurang berguna, kurang berfaedah. Tetapi ada kalanya kita harus “mengerem” untuk mengambil arti dari tindakan yang sudah dilakukan. Ada begitu luas dan banyak pembelajaran yang dapat diambil dari setiap perilaku yang dilakukan, hanya saja terkadang data tersebut tidak kita proses menjadi informasi (learn from the past) dasar perilaku saat ini (live in the present) supaya mendapatkan hasil lebih baik (look from the future). Beberapa kali saat memandu team building dengan model games, saya menanyakan apa yang dapat dipelajari dari proses ini? Apabila diberikan kesempatan, hal apa yang dapat dilakukan supaya lebih baik? Biasanya kemudian muncul banyak ide kreatif dari peserta. Dan ketika peserta diminta mengulang games dan menjalankan ide-ide yang muncul, hampir selalu permasalahan dalam games tersebut terselesaikan lebih efektif. Artinya di sini, apabila kita mau berhenti sejenak, menanyakan dan memproses data dari pengalaman yang dialami bisa jadi akan membantu kita untuk lebih baik. Lalu pertanyaannya apakah dapat terjadi juga setelah berrefleksi kemudian hasilnya malah lebih jelek? Lebih tidak efektif? Bisa terjadi juga. Maka di sinilah proses pendewasaan dan pembelajaran terjadi lagi. Bukankah dulu saat belajar berdiri dari merangkak pun kita terjatuh tidak hanya sekali? Cerita di awal artikel tadi juga menunjukkan proses refleksi. Sayangnya, refleksi yang dilakukan hanya tiga tahap, dan menurut tokoh utama sudah terlambat dilakukan. Padahal kalau dilihat dari sudut pandang positif pun untungnya tokoh utama masih menyadari untuk mengubah laku supaya lebih baik, dengan mengubah diri. Oleh karena itu, untuk menjadi lebih baik, orang muda harus mulai dan berani melakukan refleksi. “Learn from the past, look to the future, but live in the present”. Semoga! Dannnn.... setelah pengumuman.. berdasarkan kriteria kebermanfaatan.. artikel ini jadi juara ketigaa lohhh juossssss apa mungkin ini keberuntungan pemula kalo kata Paulo Coelho? i dont know dan i dont care.. tp yg tetap harus dijaga adalah dengan menulis kita membentuk sejarah.